Aceh Krisis Mental, Mindset, dan Moral.
Aceh, dengan segala keindahan alam dan kekayaan budayanya, serta yang terkenal dengan nama Serambi Mekkah juga Syariat Islam nya yang sangat ketat ternyata menyimpan tantangan besar dalam hal kemiskinan dan kemungkaran. Meskipun dikenal sebagai daerah yang kaya akan sumber daya alam Serambi Mekkah, kenyataannya Aceh menjadi salah satu daerah termiskin di Indonesia dan tindak kekerasan tertinggi terhadap perempuan dan anak-anak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh tahun 2024, tingkat kemiskinan di Aceh mencapai 12,64%, dengan perkirakan sekitar 804,53 ribu penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Tingginya angka pengangguran, minimnya lapangan kerja, dan mindset yang keliru menjadi faktor utama yang memperparah kemiskinan. Namun, di balik angka-angka tersebut, ada fenomena sosial yang tak kalah penting: gengsi dan mentalitas masyarakat yang enggan mengakui kondisi kemiskinan mereka. Sebagaimana diungkapkan dalam wawancara, banyak masyarakat Aceh yang lebih memilih menutupi kemiskinannya karena gengsi mereka rela berhutang dan bahkan korupsi demi terlihat hidup makmur "pejabat kalau kendaraannya belum Fortune kayanya belum sah deh"
Kemiskinan adalah masalah kompleks yang tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, dan moral. Di Aceh, kemiskinan sering kali dihubungkan dengan berbagai tindak kejahatan, seperti kriminalitas, korupsi, dan perilaku menyimpang lainnya. Lebih jauh, dikutip dari laman detik.com Aceh juga mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak tertinggi di Indonesia pada tahun 2024, dengan 277 kasus pada 2023 menjadi 572 kasus pada tahun 2024 kasus yang dilaporkan, bahkan lebih banyak lagi menurut data Mahkamah Syar’iyah Aceh. Banyak korban kekerasan seksual tidak mendapatkan perlindungan yang memadai, dan stigma sosial membuat kasus-kasus tersebut kerap tersembunyi.
Dari hasil wawancara dengan buk ISMIATI, S.Ag., M.Si. selaku salah satu dosen prodi Bimbingan Konseling Islam UIN Ar-Raniry, terungkap bahwa kemiskinan dan kemungkaran di Aceh saling terkait erat dan diperparah oleh beberapa faktor budaya dan struktural:
- Gaya Hidup Konsumtif dan Gengsi:
Banyak masyarakat Aceh yang lebih mementingkan penampilan dan gengsi daripada membangun kemandirian ekonomi. Hal ini menyebabkan mereka terjebak dalam pola konsumsi yang tidak produktif, bahkan rela berhutang demi menjaga citra sosial. "Sekarang pejabat kalok gak naek mobil sudah jadi pembicaraan seakan-akan kalau sudah jadi pejabat punya mobil adalah suatu kewajiban" ujar buk Ismiati.
- Mentalitas Instan dan Ketergantungan:
Program pemerintah yang hanya memberikan bantuan sosial tanpa membuka lapangan kerja justru menciptakan ketergantungan dan mematikan semangat berproses serta berwirausaha di kalangan masyarakat. Menurut beliau, fenomena “surat keterangan miskin” yang sering disalahgunakan menunjukkan bahwa sebagian masyarakat justru menikmati status sebagai penerima bantuan. “Itu mencerminkan adanya mental ketergantungan. Pemerintah memberi bantuan terus-menerus tanpa edukasi kerja, tanpa membangun ekosistem lapangan kerja. Akhirnya masyarakat tidak merasa perlu untuk keluar dari jerat kemiskinan,” tambah beliau.
- Manajemen Pemerintahan yang Tidak Efektif:
Pemerintah seringkali tidak melakukan survei kebutuhan masyarakat secara menyeluruh, sehingga program yang dijalankan tidak tepat sasaran dan hanya bersifat sementara.
- Ketimpangan Gender dan Diskriminasi:
Perempuan di Aceh sangat rentan terhadap kemiskinan akibat bias budaya, diskriminasi, dan tingginya angka perceraian. Banyak perempuan menjadi kepala keluarga tanpa akses pendidikan dan pekerjaan yang layak, sehingga tingkat kemiskinan di kalangan perempuan 30% lebih tinggi dibanding laki-laki.
Kemiskinan yang tidak ditangani dengan baik berpotensi melahirkan berbagai bentuk tindak kejahatan lainnya seperti:
- Kekerasan Seksual dan Kriminalitas:
Kemiskinan, ketimpangan gender, dan lemahnya perlindungan hukum terhadap korban memperparah kasus kekerasan seksual di Aceh.
- Mentalitas Korupsi dan Manipulasi:
Banyak masyarakat yang mampu secara ekonomi namun tetap membuat surat keterangan miskin demi mendapatkan bantuan pemerintah, menunjukkan adanya kemerosotan moral dan etika sosial. "Ini adalah fenomena yang sangat memprihatinkan. Alih-alih berusaha untuk keluar dari kemiskinan, mereka justru memilih jalan pintas yang tidak produktif," jelas buk Ismiati.
Berdasarkan wawancara dan analisis, berikut beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk memutus mata rantai kemiskinan dan tindak kejahatan di Aceh:
- Kebijakan Pemerintah yang Berkeadilan:
Pemerintah harus melakukan survei kebutuhan masyarakat secara berkala dan melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan. Program bantuan harus diubah menjadi program pemberdayaan yang menciptakan lapangan kerja, bukan sekadar bantuan konsumtif.
- Penegakan Hukum yang Adil:
Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, baik terhadap masyarakat biasa maupun pejabat. Jangan ada lagi peraturan yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.
- Perubahan Mindset Masyarakat:
Masyarakat harus didorong untuk meninggalkan mentalitas instan dan gengsi, serta membangun budaya kerja keras, sabar, dan mau berproses. “Mindset sebagian masyarakat kita masih percaya bahwa Aceh adalah daerah kaya. Sumber daya alam melimpah, dana otonomi khusus mengalir tiap tahun. Tapi kesadaran untuk bekerja keras dan membangun itu kurang. Akibatnya, potensi tidak tergarap, dan kemiskinan terus bertahan,” kata Beliau. Buk Ismiati menekankan bahwa untuk mengatasi masalah ini, diperlukan perubahan mindset di kalangan masyarakat.
- Penghapusan Diskriminasi Gender:
Pemerintah dan tokoh agama harus aktif mensosialisasikan pentingnya kesetaraan gender dan melindungi korban kekerasan, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Beliau juga menyoroti pentingnya menghapus diskriminasi gender. “Banyak perempuan korban kekerasan seksual yang tidak dilindungi. Perempuan di Aceh masih diposisikan sebagai warga kelas dua. Kita harus hentikan perbedaan gender dan beri ruang setara dalam semua bidang,” tegas beliau.
Dari wawancara ini, tampak jelas bahwa kemiskinan dan tindak kejahatan membentuk lingkaran setan. Kemiskinan menciptakan tekanan hidup, yang bisa mendorong sebagian orang melakukan kejahatan. Namun tindak kejahatan juga menciptakan kondisi sosial yang menurunkan kualitas hidup, dan memperparah kemiskinan. Ketika masyarakat hidup dalam lingkungan yang korup, tidak aman, dan tanpa keadilan, maka potensi mereka untuk bangkit juga terhalangi.
Jika pemuda pemudi Aceh lebih sibuk dengan media sosial, judi online, atau konten tidak bermoral, sementara pemerintah tidak memberikan alternatif produktif, maka kemiskinan dan kemungkaran akan terus saling memperkuat.
Kemiskinan dan kemungkaran di Aceh bukan sekadar soal ekonomi atau moral, tetapi masalah struktural, budaya, dan kebijakan publik yang tidak adil. Selama pola pikir masyarakat belum berubah, dan pemerintah belum jujur dalam menata sistemnya, maka status sebagai daerah termiskin dan kasus sosial tertinggi hanya akan menjadi luka yang terus berdarah.
Aceh butuh keadilan, kejujuran, dan keberanian untuk berubah. Dari pemerintah hingga masyarakat akar rumput, perubahan tidak akan datang tanpa kesadaran kolektif bahwa kemakmuran bukan soal banyaknya bantuan, tapi tentang keberanian untuk bekerja keras dan hidup bermoral.
Narasumber: ISMIATI, S.Ag., M.Si.
Sumber:
https://aceh.bps.go.id/id/statistics-table/2/NDIjMg==/persentase-penduduk-miskin.html
https://www.detik.com/sumut/berita/d-7710111/kasus-kekerasan-perempuan-dan-anak-di-aceh-meningkat-2-kali-lipat
Komentar
Posting Komentar